KEKUATAN CINTA( FIKMIN)
KEKUATAN CINTA
Oleh: ES Setyowatie
Aku mengusap perut dan merasakan gerakan janinku yang aktif. Rasa bahagia dan syukur selalu terpancar dan terucap dari bibir, itu dulu sebelum Mas Fadil mengucapkan padaku akan menikahi gadis pilihan orang tuanya. Sedangkan aku pilihan Mas Fadil , sebenarnya ada rasa bangga karena cinta kita berakhir di pelaminan. Namun, seteguh apa pun akhirnya Mas Fadil patuh pada orang tuanya karena tidak mau dicap durhaka.
Dengan berat hati, aku menyetujui idenya, ini mungkin pengorbanan yang paling nyeleneh. Tapi aku mengajukan satu syarat,"Tunggulah sampai bayi ini lahir. Aku ingin saat anak kita lahir ada ayahnya di sampingnya dan ada yang menyerukan azan di telinga buah hati kita." Siang malam doa kupanjatkan semoga diberikan kekuatan dan kesehatan serta kelancaran saat melahirkan selebihnyanpasrahboada Allah.
****
Hari yang kutunggu tiba, aku melahirkan bayi yang cantik dengan wajah mirip dengan suami, bagai pinang dibelah dua, hanya rambutnya yang sama denganku, lurus. Aku bahagia telah menjadi seorang ibu tapi di sisi lain siapkah aku berbagi? Tapi keputusan telah terucap harus menepati janjiku.
Hatiku berdebar saat ibu mertua membesukku, keberadaanku disini sebagai istri tinggal menghitung jari dan rasa perih semakin merajai hati. Namun aku harus tegar, tidak boleh menunjukkan kedukaan. Aku harus menciptakan kebahagiaan untukku demi anakku yang baru lahir. Aku harus menjadi ibu yang kuat dan tegar.
“Bagaimana kondisi kesehatanmu?” tanya ibu mertua
“Alhamdulillah, sehat,” jawabku sambil membenarkan posisiku untuk menghormati mertua.
Mertuaku tersenyum mendengarnya
“Dimana cucuku?” tanyanya lagi.
“Masih di ruang bayi nanti sebentar lagi dibawa ke sini waktunya memberi asi.”
Ekspresi mertuaku sangat bahagia mendengar jawabanku, tetapi degup jantungku berdetak sangat cepat mengingat apa yang akan terjadi ke depan.
Usai mendapat asupan ASI, bayiku digendong ibu mertua. Sekali lagi kulihat binar mata yang berseri pada raut wajahnya.
“Bu kata dokter besok sudah boleh pulang, tapi mohon maaf saya mau pulang ke Semarang. Aku tidak bisa menyaksikan pernikahan Mas Fadil dengan perempuan pilihan Ibu."
Kulirik Ibu hanya bergeming ekspresi wajahnya datar saja dan sesikit ada gurat kecewa.
“Tidak! Kamu harus tetap di sini.”
“Tapi Bu, siapa yang kuat menyaksikan suaminya menikah lagi.”
“Maafkan keegoisan ibu, Nak. Kamu istri terbaik!" Kemudian ibu memeluk erat diriku.
Comments
Post a Comment