Aku Hanya Rindu
Aku Hanya Rindu
Part:01
Oleh: Essetyowatie
Udara lereng gunung Lawu terasa sejuk sekali, menyapa dengan ramah para wisatawan domestik maupun turis mancanegara. Suasana masih sangat asri, hijaunya pepohonan, desiran angin yang menyibak anak rambut yang bergerak indah. Juga kicauan burung yang merdu menggambarkan suasana yang adem. Bagi orang terbiasa dengan kebisingan kota sanggatlah pas untuk menenangkan pikirannya.
Seno dan dua putranya menapakkan kakinya menuruni hotel tempat menginap semalam. Ia ingin menikmati suasa tenangnya Telaga Sarangan. Meskipun, ternyata sudah banyak wisatawan domestik yang berseliweran untuk ikut menikmati tenangnya telaga Sarangan. Kedua remaja tanggung, anaknya Seno ingin naik Speed boat.
Seno berjalan mendekati tepi telaga untuk bernego dengan pemilik speed bood, sementara dua anaknya masih menikmati indahnya panorama telaga dengan duduk di tepi telaga.
Tiba tiba saja,seorang ibu dengan terburu-buru menyenggol lengan Seno, mengakibatkan HP Seno jatuh. Segera ibu yang memgenakan busana muslimah dan memakai masker di wajahnya ,sehingga tidak bisa mengenalinya. Begitu juga Seno, memakai masker dan topi sehingga tentu sulit dikenali wajahnya.
“Maafkan saya, saya buru-buru. Nanti kalau ada kerusakan Hpnya silakan menghubungi saya. Ini kartu nama saya. Saya benar -benar minta maaf. Saya harus segera balik,” kata perempuan itu dengan terbata-bata dan tergesa-gesa.
Seno tidak sempat menjawab permintaan maafnya, karena ibu itu keburu pergi setelah memberikan kartu nama. Kini hanya tinggal kartu nama yang ada di tangannya.
Sebuah nama, Pencari jejak/penulis. Seno memandangi kartu itu, ia heran dengan semuanya ,seperti berjalan cepat. Yang ia ingat suaranya, tapi itu sudah puluhan tahun yang lalu. Suara ibu itu mirip dengan suara seseorang yang telah memporak porandakan hatinya.
“Ah, ini hanya dugaan tanpa ada alasan yang jelas, mungkin hanya halusinasi saja.”
Seno mengambil Hpnya yang jatuh, kemudian diperiksanya, “oh ada sedikit retak!”
Namun, Seno tak memperdulikannya dan perhatiannya fokus pada tujuan semula.
Kemudian ia bergegas menuju pemilik speed boat, setelah tawar menawar akhirnya disepakati harga. Dilambaikan tangannya ke anaknya dan lambaian itu dibalas oleh anaknya.
Kedua remaja itu melangkah menuju ke arah Seno yang tak lain adalah ayah mereka. Yang pertama remaja putri berusia 16 tahun , bernama Humaira Sekarwangi Seno Wijaya yang sering dipanggil Anggi sedang satunya remaja putra berusia 14 tahun yang bernama Bima Prawira Seno Wijaya mereka kakak beradik. Senyum merekah di wajah mereka.
“Halo, Papa,” sapanya
“Halo juga buat kedua anak papa yang tersayang,” jawab Seno
Ini papa sudah sewakan speedboat untuk berputar mengelilingi telaga pasir. Kalian putar sendiri atau didampingi Papa!”
“Didampingi Papa saja,” kata Bima
Bertiga mereka menaiki speedboat dan dipandu satu pengemudi nya. Air yang tenang berombak seketika speedboad mulai berjalan membelah air yang tenang. Anggi yang menyukai air sangat senang, semringah wajahnya tampak sekali. Rambutnya yang diikat ekor kuda dipermainkan angin begitu juga dengan anak rambutnya.
Sementara Bima agak nervous, karena ia takut pada air, semacam fobia terhadap air. Bukan tanpa alasan saat ia berusia lima tahun, sebuah tragedii besar telah dialaminya saat berwisata di pantai selatan, dengan Mamanya ikut rombongan kantor. Papanya tidak bisa ikut karena lagi keluar kota. Saat mereka masih bermain di pantai, karena asyiknya Bima yang saat itu masih berusia lima tahun berjalan kearah pantai.Begitu Mamanya menyusul dan tangan Bima diraih, tiba- tiba ombak datang menghantam tubuh Lani, terlepaslah, dan Lani terseret ombak ke tengah sementara Bima terseret ke pinggir pantai. Esok paginya tim sar menemukan Lani sudah tidak bernyawa. Sejak saat itu Bima menjadi takut air.dan kehikangan Mamanya, Lani
Hal ini yang membuat Seno harus ekstra hati -hati mengawasi tumbuh kembangnya Bima. Apalagi sejak saat itu Seno lebih memilih sebagai singgel parent.
Dengan erat tangan Wira memegang erat Papanya ,keringat dingin sudah mulai keluar, terlihat sangat khawatir diwajah wira.
“Wira takut ,Pa!”
“Ada Papa, Wira, pegang tangan papa erat-erat.Tarik napas panjang untuk.mememangkannya.Tataplah ke depan dengan senyum, kamu harus bisa membuat damai dengan air.”
Comments
Post a Comment